Vogue Apakah Pro Israel
Gaza, the USA and humanitarian aid
U.S. voiceless in The Middle East
More countries recognize Palestine
The ICC goes after Netanyahu and Hamas
The law of war, Israeli-style
The ordeal of Gaza civilians
TEMPO.CO, Jakarta - Terjadi lagi bentrok demo mahasiswa Pro-Palestina dan pro-Israel. Terbaru, terjadi di Universitas California Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat, pada Ahad, 28 April 2024.
Bentrok tersebut bermula ketika pengunjuk rasa pro-Israel memprovokasi kubu pro-Palestina, sehingga kedua pihak adu jotos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang pendukung pro-Israel melontarkan komentar cacian kepada pengunjuk rasa mahasiswa pro-Palestina yang melanjutkan demonstrasi mendukung Palestina. Mulanya, orang tersebut membawa bendera Israel dan AS.
Kemudian, mencoba membangunkan orang-orang Kamp Solidaritas Gaza di kampus di Los Angeles pada tengah malam, menurut rekaman yang diposting di media sosial. Sebelumnya, perkemahan tersebut didirikan oleh mahasiswa UCLA untuk menentang perang Israel yang sedang berlangsung terhadap wilayah Palestina di Gaza.
Kata-kata KomunisPendukung Israel itu dilaporkan mendekati tenda pendukung pro-Palestina sekitar pukul 04.30, berteriak "Bangun, komunis", serta memutar audio yang mengejek di ponselnya.
Aksi salah seorang pendukung Israel itu dipantik meluasnya jumlah protes pro-Palestina di kampus-kampus AS dan para mahasiswa semakin vokal menyuarakan keresahannya di tengah agresi Israel di Gaza.
“Pagi ini, sekelompok demonstran melanggar penghalang yang dibuat universitas untuk memisahkan dua kelompok pengunjuk rasa di kampus kami, yang mengakibatkan pertengkaran fisik,” kata Wakil Rektor Komunikasi Strategis UCLA Mary Osako dalam sebuah pernyataan.
Dilansir dari Reuters, setelah bentrok tersebut, pada Rabu, 1 Mei 2024, ratusan petugas polisi berkumpul di kampus UNLA dan menggerebek Kamp Solidaritas Gaza yang didirikan oleh mahasiswa pro-Palestina. Sebelumnya, pasca bentrok, pihak UCLA menyatakan bahwa perkemahan itu melanggar hukum.
Ratusan aktivis pro-Palestina berkumpul di luar tenda dan mencemooh polisi. “Kamu memalukan,” teriak meraka. Beberapa aktivis juga menabuh genderang dan mengibarkan bendera Palestina. Ketika petugas berjalan menuju halaman kampus. Banyak pengunjuk rasa mengenakan syal keffiyeh tradisional Palestina.
Sebelum bergerak masuk, polisi menggunakan pengeras suara mendesak para demonstran untuk membersihkan area protes di alun-alun berumput antara auditorium menara kembar Royce Hall dan perpustakaan sarjana utama.
Menurut pejabat UCLA, sebelum terjadi bentrok, Kamp Solidaritas Gaza sebagian besar berlangsung damai. Ia juga mengatakan pihaknya akan mencari penghasut atau provokator bentrok tersebut.
Pada Selasa, 30 April 2024, polisi di New York sempat menangkap aktivis pro-Palestina yang menduduki sebuah gedung di Universitas Columbia, Mereka juga membongkar kamp solidaritas Palestina dari kampus Ivy League.
Polisi juga sempat menangkap sekitar 300 orang di Columbia dan City College of New York, kata Walikota New York, Eric Adams. Banyak dari mereka yang ditangkap didakwa melakukan pelanggaran dan kejahatan kriminal.
Gejolak di UCLA dan New York adalah bagian dari aktivisme mahasiswa AS yang terbesar sejak demonstrasi dan pawai anti-rasisme pada tahun 2020. Protes tersebut menyusul serangan pada 7 Oktober di Israel selatan oleh militan Hamas dari Jalur Gaza dan serangan Israel berikutnya terhadap wilayah kantong Palestina.
Para pelajar telah berunjuk rasa atau demo mahasiswa dengan mendirikan tenda di puluhan kampus di seluruh AS dalam beberapa hari terakhir, menyatakan penolakan mereka terhadap serangan Israel ke Gaza dan menuntut agar sekolah-sekolah tersebut divestasi dari perusahaan-perusahaan yang mendukung pemerintah Israel. Banyak sekolah telah memanggil polisi untuk meredam protes.
MICHELLE GABRIELA (MAGANG PLUS) | REUTERS | NBC LOS ANGELES | ANADOLUPilihan editor: Demo Mahasiswa Amerika: Stop Investasi Kampus di Israel
Warning. Your funds are going to disappear when you see ASOS's winter offering. Coupled with the ease of their simple shopping method, these dresses, coats, shoes and dreamy winter jewellery are going to make the arrival of one of their monochrome packages all the more saintly. Whether you're opting for the season's grungy logo-heavy look or a new spin on the slip dress, the online store has something (and more) for your winter wardrobe. Quick, take a look here before it's all gone.
Ada negara-negara yang begitu tidak disukai oleh masyarakat dunia. Umumnya, rasa tidak suka itu muncul akibat sikap pemerintahnya, militernya, budayanya, maupun agama yang dianut.
Meski tak ada daftar pasti apa saja negara-negara yang dibenci tersebut, namun berdasarkan survei opini publik, mayoritas publik sepakat bahwa negara-negara di bawah ini 'problematik' sehingga wajar dibenci.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi kebanyakan orang, Rusia adalah negara yang paling dibenci di dunia.
Rusia sering terlibat konflik militer dengan negara-negara lain, terutama yang berbatasan dengan Kremlin. Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 merupakan salah satu contohnya.
Selain terlibat konflik, Rusia juga dikenal suka 'cari gara-gara' dengan beraliansi dengan negara atau rezim totaliter yang dimusuhi dunia. Seperti misalnya bersahabat dengan pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Rusia sangat tidak disukai negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Hal itu lantaran keterlibatan Kremlin dalam Perang Dingin, ambisinya dalam senjata nuklir, serta intervensinya dalam politik negara lain.
Di samping itu, pemerintah Rusia juga dikenal sangat membatasi hak-hak pribadi dan kebebasan berdemokrasi, demikian dikutip dari World Population Review.
China juga termasuk dalam daftar negara yang paling dibenci di dunia.
Mirip seperti Rusia, China diperintah oleh rezim otoriter, yang bisa dibilang lebih menindas dan senang mengendalikan.
Kebencian terhadap pemerintah China berasal dari berbagai faktor. Di antaranya yaitu pemerintah mengendalikan banyak bisnis dan sering ada laporan korupsi; warga diminta kerja paksa; membuat produk dengan bahan murah namun tak sehat atau beracun.
Mencemari lingkungan dan merupakan penghasil gas rumah kaca CO₂ terbesar di dunia; menolak untuk memberikan kemerdekaan kepada Hong Kong, Taiwan, dan Macau; mengganggu setiap upaya Taiwan untuk membangun kedaulatan politik dan bergabung dengan PBB.
Kemudian, melakukan "diplomasi perangkap utang" di mana Beijing meminjamkan uang kepada negara-negara berkembang yang tidak mungkin dapat mereka bayar dan sebagai gantinya mendapatkan pengaruh politik yang tidak semestinya atas negara itu.
Berikutnya, membatasi internet warga; menekan hak asasi manusia; hingga melakukan kekerasan terhadap orang-orang Uyghur.
Masuknya Amerika Serikat dalam daftar negara yang paling dibenci di dunia mungkin cukup mengejutkan. Namun, bagi sebagian orang Asia atau Eropa, kebencian ini merupakan hal yang wajar.
Penyebab utama AS dibenci yaitu karena kecenderungan negara itu untuk mencoba mempengaruhi peristiwa internasional dengan cara yang menguntungkan Washington.
AS sering mengirim pasukan ke negara lain seperti Vietnam, Panama, Afghanistan, Irak, dan lain sebagainya, untuk alasan yang menurut sebagian orang cuma menguntungkan pengaruh AS di kawasan-kawasan itu.
AS juga terkadang dicemooh karena berbagai alasan. Misalnya, karena perpecahan politik yang mendalam antara kaum liberal dan konservatif, kesediaan orang Amerika untuk menaruh kepercayaan penuh pada sumber media atau politisi yang cenderung bias.
Persepsi bahwa orang Amerika cenderung menganggap Amerika adalah pemimpin dunia di hampir setiap kategori, respons negara yang lambat dan meraba-raba terhadap pandemi COVID-19, kecintaan orang Amerika terhadap senjata api dan makanan cepat saji.
Kurangnya kemajuan negara dalam beberapa hal seperti dukungan untuk orang-orang LGBTQ+ dan isu lingkungan juga menjadi salah satu faktor.
Selain itu, AS juga tak bisa mengatasi masalah ras dan gender, peraturan senjata, ketidaksetaraan pendapatan, perawatan kesehatan, serta pemerintahan yang demokratis.
Negara kaya minyak ini tak disukai karena diperintah oleh pemerintah otoriter dan diktator yang kebijakannya didasarkan pada interpretasi doktrin Muslim yang ketat, keras, dan misoginis.
Arab Saudi juga kerap menekan hak asasi manusia, terutama hak-hak perempuan.
Negara itu menolak menandatangani Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, melegalkan hukuman mati yang acapkali digunakan untuk menghukum kejahatan mulai dari pembunuhan hingga perzinahan dan kemurtadan.
Menyiksa tersangka demi membuat mereka mengaku, 'menghilangkan' oposisi seperti kasus jurnalis yang disiksa dan dibunuh Jamal Khashoggi.
Kemudian, menghukum mati homoseksualitas, memaksa seseorang memeluk Islam dan mengeksekusinya jika murtad, melakukan berbagai jenis ketimpangan sosial bagi perempuan, dan dianggap sebagai inkubator terorisme atau menjadi tempat kelahiran kelompok-kelompok teroris termasuk ISIL, Al-Qaeda, dan Taliban.
Arab Saudi juga dituduh melakukan kejahatan perang selama aksi 2015 terhadap Yaman.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>
Korea Utara tidak disukai sebagian besar karena penindasan pemerintah terhadap warganya sendiri. Korut juga terkadang memberlakukan kebijakan internasional yang sangat agresif.
Semua media di Korut dikendalikan oleh negara. TV dan radio hanya dapat menyiarkan konten yang disetujui pemerintah.
Warga tidak bisa mengakses internet. Telepon juga tidak bisa menjangkau saluran internasional.
Lebih lanjut, orang-orang di Korea diberi pekerjaan oleh pemerintah, dan tidak memiliki suara untuk memilih profesi atau posisi mereka.
Distribusi makanan juga diatur, dan warga seringkali mengalami krisis serius.
Tak ada yang diizinkan meninggalkan negara itu tanpa izin pemerintah yang sulit diperoleh. Aparat bisa menangkap seseorang karena alasan sewenang-wenang.
Perempuan Korut juga dilaporkan sering menjadi sasaran kekerasan seksual, terutama oleh laki-laki yang berkuasa.
Namun, meskipun kemiskinan meluas di seluruh negara, Korut menghabiskan sebagian besar pendapatannya yang tak seberapa untuk pengembangan militer, termasuk program senjata nuklir.
Israel dibenci oleh Muslim di seluruh dunia karena konflik menahunnya dengan Palestina.
Israel juga dibenci karena diyakini menggunakan sekutu dekatnya, Amerika Serikat, sebagai pendukung perilaku buruk mereka.
Agresi Israel di Palestina sejak Oktober lalu pun semakin menambah kebencian umat Islam terhadap Negeri Zionis. Apalagi, sikap keras kepala Israel yang tak mau melakukan gencatan senjata dan mengakui Palestina sebagai negara merdeka.
Ada sejumlah alasan mengapa Pakistan dianggap sebagai negara yang dibenci publik. Mulai dari fakta bahwa Pakistan adalah salah satu dari sedikit negara Timur Tengah yang memiliki akses ke senjata nuklir hingga tudingan bahwa negara ini merupakan surga bagi terorisme.
Pakistan juga tak disukai karena penegakan hukumnya yang lemah karena jarang meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM. Orang-orang sering dijatuhi hukuman mati setelah proses pengadilan yang rahasia dan mengherankan.
Pakistan sering dituduh melakukan penindasan sistemik dan kekerasan terhadap perempuan, serta terhadap minoritas seperti kelompok agama lain dan anggota komunitas LGBTQ+.
Pemerintah juga menentang kebebasan berbicara dan dapat menangkap mereka yang mencoba menentangnya.
Publik umumnya membenci Iran karena banyaknya kasus pelanggaran HAM di negara itu serta kecenderungan Teheran bersikap ketat berdasarkan keyakinan yang mereka anut.
Iran juga sering dituduh mensponsori terorisme. Ada pula kekhawatiran bahwa negara itu dapat secara diam-diam mengalihkan program energi nuklir menjadi pengembangan senjata nuklir.
Irak adalah tempat berdirinya kelompok teroris ISIS/ISIL. Ini adalah penyebab utama Irak tak disukai publik.
Pemerintah Irak juga dikenal otoriter dengan catatan panjang pelanggaran HAM.
Pemimpin Irak Saddam Hussein, yang sangat problematik, merupakan salah satu alasan warga dunia tak menyenangi negara ini.
Đăng kí thông tin thành công
Cảm ơn bạn đã để lại thông tin Chúng tôi sẽ liên hệ với bạn trong thời gian sớm nhất
Thông báo sẽ tự động tắt sau 5 giây...
Netanyahu goes to Rafah
One year after October 7
Containing war in the Middle East
Đăng kí thông tin thành công
Cảm ơn bạn đã để lại thông tin Chúng tôi sẽ liên hệ với bạn trong thời gian sớm nhất
Thông báo sẽ tự động tắt sau 5 giây...
There’s a great pair of shoes in Jun Takahashi’s Fall Undercover collection. The left is printed with the word “Chaos,” the right, “Balance.” The shoes themselves—like the collection itself—sit between those two notions. The title of this collection was “Instant Calm,” according to the grave disciple of Takahashi, who talked me through it all—Takahashi doesn’t stage his menswear as a runway show, which allows you instead to inspect the quiet subversion of the pieces, like the expletive-riddled Patti Smith lyrics to “Babelogue” hidden on the collar stand of a jacket.
The lack of a hectic headlong rush into a show space to see a hectic headlong rush of product is, in its way, instantly calming. But Takahashi was more interested in the illusion of relaxation, cutting his tailoring looser, including printed pajama styles and easier trousers and sportswear pieces like varsity cardigans. The cool, calm, eerily collected work of Belgian artist Michaël Borremans—whose paintings resemble sedate Renaissance Flemish masterpieces, but with tweaks that push them into the realm of the grotesque and alarming—were an inspiration. Takahashi used Borremans’s work for his Fall 2015 womenswear collection: The plastic face masks that deformed models’ features referenced a Borremans’s painting from 2007, and other paintings were printed on dresses. Here, they appeared on knitwear and sporty outerwear in various guises. They were still disquieting. An embroidered motif elsewhere in the collection extolled observers to “Have a Weird Weekend.” It was a weird thing to see on a Saturday morning. Takahashi likes creeping people out. His overblown chintzes were infected with maggots and bugs; his backpacks sprouted batwings. Even his hats had horns. Apparently, this collection was supposed to feel a little more mature—so the horns were magnetic, therefore detachable. It’s not about destroying the devil inside, but maybe sometimes you don’t want him to be visible to the naked eye.
Dinosaurs and tar pits, evolution, art nouveau, and the primordial ooze. Rick Owens creates clothes that look like no one else’s because he sublimates into his designs themes that other designers wouldn’t—perhaps couldn’t—touch. For Fall, Owens recounted that his partner Michèle Lamy had begun keeping bees on the rooftop of the Brutalist concrete mausoleum they call home; he thought it was an instinctive response to environmental change. 2015 was the hottest year since records began. Those kind of facts got Owens thinking “about the ecological anxiety we are all feeling. What is the worst possible scenario?”
Total and utter annihilation, of course. Going the way of the dinosaurs—which is why the collection was called Mastodon and featured a parade of truly Jurassic parkas. And suits, and bombers, and the dresses-for-dudes that Owens somehow makes look viable. Postapocalyptic isn’t exactly uncharted territory for Owens; his battered and tattered clothes and whey-faced models tend to evoke the notion of not only teetering on the brink, but hurtling headfirst into the abyss. And yet, even for him, the suppurating sheepskin garments seeping around his models’ bodies, like magma melting and melding body parts together, were disquieting. I’ve heard of “fluid” clothing before, but this was something else entirely, in shades of black, chalk white, American tan, and corpse gray. There was lots of shearling. It had the thick, spongy texture you’d imagine of flayed flesh.
Fluidity was a theme Owens ran with, clothing pooling and bubbling around the torso, trickling around the legs. “I want to say I vomited this out,” mused Owens backstage, before allowing that most people react unfavorably to that verb. Particularly when they’re wearing it; a series of garments were graphically splattered with bleach. Sometimes, the ooze surrendered a real garment, like a heffalumping, glutinous mass of mohair in an intestinal puce from which a strictly tailored sportswear hood emerged, near perfectly formed, to define the garment as a coat. The contrast was telling: It’s tough to chart evolution (or devolution) if you’ve nothing to compare it with. So the other story today was of tailored volume, of couture control, inspired by the historical volume-pumpers of panniers and bustles. “Pageantry with cloth,” was Owens’s term, explaining the cargo pockets that plumped out his silhouettes. “How do I do volume in a men’s collection? Volume in a way that could pass.” His cargo pockets were huge, his hemlines wide, topped with skinny jackets either elongated or cropped, in both senses emphasizing the voluminous pant.
Owens is the best analyst of his own clothing, which is rare among fashion designers, a bunch who are generally reticent to put their work into words. It would be tough, without Owens as tour guide, to navigate prehistory and climate change, and wind up at a barfy bunch of coats. Nevetheless, it makes perfect sense. It also isn’t the whole story. The most telling notion on display here, under those liquifying layers, was of timeliness—of Owens’s clothing relating to a wider geological picture, a reaction to the time in which they were created. I couldn’t help but think of the bustle, and Victorian prurience: The lifting of the death penalty for “buggery” in England in 1861 near-coincided with the bustle’s inflation; Oscar Wilde's trial in 1895 came shortly after the second (and last) revival of the style.
Today, Owens’s clothes were, on the one hand, violent—they looked disemboweled, prolapsed, eviscerated. But there was also something protective about the sloppy down-jackets wrestling about the body, the sheepskins fused together as if protecting your flank. “Hope for the best,” Owens shrugged. “But prepare for the worst.” Sage advice.